Pages

Sabtu, 19 Februari 2011

Contoh kasus Hukum Perdata Internasional

Kasus Trail Smelter
Bermula dari kasus pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah Kanada, dekat sungai Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada-AS. Mulai tahun 1920 produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat. Emisi tersebut mengandung sulfur dioksida, menyebarkan bau logam dan seng yang sangat menyengat. Pada tahun 1930 jumlah emisi tersebut mencapai lebih dari 300 ton sulfur setiap hari. Emisi tersebut, karena terbawa angin, bergerak ke arah wilayah AS melalui lembah sungai Columbia dan menimbulkan berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air dan udara, kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk Washington lainnya.
AS kemudian melakukan klaim terhadap Kanada dan meminta Kanada bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita AS. Setelah melakukan negosiasi, kedua negara sepakat untuk menyelesaikan kasus itu melalui International Joint Commision, suatu badan adminsitratif yang dibentuk berdasarkan Boundary Waters Treaty 1907. Badan itu tidak mempunyai yurisdiksi terhadap masalah- masalah pencemaran udara dan sesungguhnya hanya mempunyai yurisdiksi terhadap sengketasengketa yang berkaitan dengan masalah perbatasan perairan.

Kamis, 17 Februari 2011

HUKUM PERDATA di INDONESIA

Pengertian Hukum Perdata :
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Berikut beberapa pengartian dari Hukum Perdata:
1. Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan
2. Hukum Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya.
3. Hukum Perdata adalah ketentuan dan peraturan yang mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.

Sejarah Hukum Perdata:
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813).
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda

Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.

Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945

Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

CONTOH KASUS HUKUM PERDATA DI INDONESIA:
Jakarta
, 3/4/2009 (Kominfo-Newsroom) – Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) menyatakan, banyaknya terjadi kerusakan lingkungan akibat tidak tegaknya hukum, yaitu ketika pelaku perusakan tidak mendapat hukuman yang semestinya.

Bahkan kami yang berupaya mengajukan perkara terhadap perusahaan yang melakukan kerusakan lingkungan, justru
mendapat ancaman dari buruh yang telah dipengaruhi pemilik perusahaan karena dituduh akan menutup
perusahannya,
kata Deputi V Bidang
Penegak Hukum
KNLH, Ilyas Assad
dalam acara diskusi, di Jakarta, Kamis (3/4).

Bahkan petugas kami yang hendak menggugat dan melakukan upaya mencari bukti yang lebih lengkap terhadap perusahan yang telah melakukan
perusakan lingkungan, harus dikawal pihak kepolisian. Ini jelas tidak efektif,ujarnya.
Selain itu, katanya, untuk penyelidikan masalah itu juga tidak mudah karena memerlukan waktu lama, terutama adanya perbedaan taksiran kerugian dari kasus perusakan lingkungan antara kami dan aparat hukum.
Namun demikian KNLH tidak akan berhenti melakukan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, karena kerusakan lingkungan sudah meluas dan berat, jadi jangan ditambah lagi.
Dijelaskan, KNLH bukan tidak mendukung pekerja atau investasi. KNLH juga tidak menghendaki perusahan ditutup dan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Namun pihaknya juga tidak bisa membiarkan kerusakan lingkungan terjadi.
Dijelaskan, dampak kerusakan lingkungan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh masyarakat dan negara atas keberadaan perusahan perusak lingkungan.
Sementara itu pakar lingkungan dari Universitas Indonesia,
Bambang Prabowo mengatakan, hingga saat ini
penegakan hukum terhadap perusak lingkungan
seperti berjalan di tempat, padahal menurutnya, terjaganya lingkungan tergantung pada penegakan hukum.
Menurutnya, UU dan paraturan untuk mencegah terjadinya perusakan lingkungan cukup banyak dan lengkap, namun persoalannya adalah implementasi di lapangan sangat kurang, sehingga
semua aturan tidak memberikan manfaat bagi upaya perlindungan terhadap lingkungan.
Ketua Indonesia Center
for Environmental Law (ICEL)
Rino Subagio juga mengatakan, dalam penegakan hukum di pengadilan, juga tidak mudah, karena pengadilan saat ini sarat dengan
dugaan tindakan korupsi.
Bahkan pada tahun 2008, katanya, dari 13 kasus perdata dan tata usaha negara
yang berkenaan dengan kasus lingkungan, tujuh di antaranya gugatannya ditolak
termasuk kasus Lapindo dan Newmon.
Sedangkan sisanya satu kasus di PTUN ditolak, dua kasus di sidan pengadilan tingkat pertama menang, namun kemudian kalah di tingkat banding, seterusnya dua kasus dikabulkan, hanya keputusanya tidak signifikan, dan satu kasus dihentikan karena ada kesepakatan damai.
U
ntuk kasus pidana pada kurun waktu 1997-2008, yang tertangani hanya16 kasus, namun keputusan tidak memadai. Bahkan ada kasus yang sudah
diputuskan terkena hukuman, namun terdakwanya ternyata kabur ke negera asalnya di Malaysia.
Sedangkan kasus pidana yang ditangani oleh KLH, dari 33 kasus yang telah
memiliki keputusan tetap, 56 persen di antaranya atau 19 kasus, hukumannya sangat ringan.
Akibatnya, kata Rino, upaya penegakan hukum itu sangat rendah dan tidak menimbulkan efek jera.
Kenyataan itu terjadi akibat kurangnya koordinasi antara aparat hukum terkait, yaitu pihak kepolisian, kejaksaan dan PPNS.
Selebihnya adalah rendahnya pengetahuan teknis dan integritas aparat penegak hukum dalam persoalan lingkungan serta dugaan kuat adanya mafia peradilan.